Kemurnian dalam hitam kopi, gelap, pekat. Bukan gagasan, itu petunjuk menuju kebenaran.
Aku seduh kopi malam. Hampir tiap malam mendapatkan rasa. Apa ku rasa? Pahit. Sejalan hidup lebih pahit tapi bukan di lidah. Di bayangan menakuti. Bukan itu, dan bukan apapun. Ku cium sebelum ku seruput. Rupa ku dalam kopi terlihat. Tak bisa air bening ku melihat wajah. Rupa ku gelap. Aku mampu menatap bayangan semu dalam kopi. Ingat ku pernah tanyakan kepada kepada teman. "Bagaimana menjernihkan gelas berisi keruh minuman?" Di malah menganggap ku imajinasi, menghilangkan maksud apa sedang dipertanyakan. Aku diam. Ku perhatikan debat nya sangat semangat. Bagaimana aku menjawab. Setiap jawaban pasti tak pernah di dengar. Walau di saat ada kebenaran tak perduli. Aku perhatikan saja.
Hampir sudah lima belas menit aku dengar. Pertanyaan sepele bagaimana air keruh dapat jernih dengan cepat?" Mengapa harus diperdebatkan dengan panjang. Sejauh ini, aku belum memberikan jawabannya. Aku tak mau memberi jawabannya. Semua jawaban sia-sia. Biarkan saja dia mencari. Aku pernah menjadi seperti dia. Aku tak butuh bantuan agar bisa menjawab. Aku berhasil untuk menjawab dari pertanyaan itu dan aku kembangkan kembali dalam pikiran ku sendiri. Memang begitu. Aku tahu sifat dia. Dia sama dengan aku. Kalau saja dia mengatakan tidak tahu. Aku membantu untuk menjawab dan pasti aku memberikan jawaban benar-benar jawaban. Untuk apa aku membuat pertanyaan tidak masuk akal. Ku sudah masuki semua pemikiran manusia. Disebabkan aku sering mendengar, dan selalu belajar. Membaca ku kuat. Dalam remang mobil, ruang, dan aku masih dapat membaca.
Aku masih mendengar. Tanpa satupun jawaban terjawab olehnya. Bagaimana aku ingin menjawab, kala dia bicara. Sabar ku mendengar. Dia tidak tahu, aku suka mendengar. Suara manusia dapat terbaca, terasa, ter reka, siapa dirinya dapat dari suara. Dia tidak menjawab pertanyaan ku, namun dia memberikan tentang dirinya pada ku. Aku merasa suara-suaranya bagai musik. Setiap suara menawarkan keindahan. Setiap musik punya ciri tersendiri. Musik ku dengar sekarang tentang isi hati, pikiran. Termasuk orang idealis orang ini. Aku menyukai sifat dari suaranya. Aku tidak berkata banyak saat itu. Dengar dan mendengar, keindahan musik alami hidup manusia adalah suara manusia.
Kali ini waktu berbeda. Teman lainnya datang tiba-tiba. "Ada apa?" Tanya ku. Setelah jauh pembicaraan ia sulit bagaimana memecahkan masalahnya. Jawab ku sederhana, dan justru bertanya,"bagaimana membuat jernih kopi dengan cepat?" Ia bingung. Jawabnya,"saya tidak bisa sulap, dan tidak punya kemampuan tinggi." "Ini hanya cara. Bukan sulap." Ia kira ilmu apa? Pikiran manusia lebih dari pada penipuan sulap. "Ini benar, kalau tidak percaya ambil minuman kopi." Ucap ku. Percaya tidak percaya, ternyata ia lakukan. Setelah diambil, aku ambil tangannya keatas kopi nya baru saja di seduh. Baru setengah menit ia merasa panas."Ini air jernihnya." Jawab ku. Wajah terasa sakit dan tersenyum. "Jadi bagaimana dengan maksudnya?" Tanya ku lagi. Ia hanya tersenyum dan mendengar ku. "Bahwa manusia harus tutup matanya, tutup kuping nya, tutup mulutnya, tutup hidungnya, tutup lubang rasanya. Manusia akan tahu kebenaran. Dengan mudah mendapatkan kemurnian, kebenaran."
Jawaban ku di sambut kembali dengan pikiran burunya, dengan bertanya,"aku sudah menahan marah namun, tidak dapat tertahan rasa marah ini. Lalu bagaimana?" "Rasa panas tadi di atas kopi panas sama dengan marah dalam hati. Memang begitu. Karena masalah ada di dalam mestilah disadari. Banyak yang kita tidak disadari. Manusia selalu refleks. Dirinya tidak di kontrol, disadari. Rasa marah harus disadari. Karena jika sedikit panas saja kemarahan dapat meluap. Jadi hindari pemicu." Aku sarankan begitu. Hindari marah sebelum marah.
Kopi di cangkir panas menunjukkan bayangan wajah, kemurnian air, menunjukan kebenaran tersembunyi.